Jumat, 04 Desember 2009

Seorang Teman

Menerima telpon dari teman yang sudah lama tidak bertemu adalah sebuah berkah dan kebahagian, itulah yang seharusnya terjadi. Baru-baru ini saya menerima sebuah telpon dari teman “seperjuangan” . saya katakan seperjuangan karena memanglah ini teman SMP saya satu-satunya yang paling akrab.

Mengenai teman saya ini, saya hanya bisa mengatakan dia adalah seorang yang “mendekati jenius” menurut ukuran saya, karena seingat saya dialah satu-satunya teman saya yang akan mengamuk bila ulangan matematika serta fisikanya mendapat angka delapan karena dikedua mata pelajaran itu dia “wajib” mendapat angka sepuluh. Dan mendapat angka sembilan pun sangat jarang terjadi.

Saya banyak berusaha “mencuri” resep yang dia pakai untuk mencapai angka-angka “keramat” itu. Tapi dari sudut manapun saya berusaha mencari, saya tidak menemukannya. Karena sepertinya memang tidak ada resep khusus unutk menjadi pintar. Itu memang sudah bakat sepertinya.

Ada suatu kejadian dimana saya berusaha belajar fisika dengannya. Dia menunjukan bab mana saja yang harus dipelajari. Malam itu saya belajar seperti kesetanan, dan saya menginap di rumahnya pada hari itu. Seingat saya dia tidak belajar sama sekali, dan besoknya setelah ulangan dan hasilnya di bagikan, angka yang saya dapat adalah 6,5 sedangkan teman ini mendapat angka 9,5 .

Melihat hasil yang saya capai saya akhirnya menyadari bahwa usaha itu perlu, tapi bakat nomor satu. Saya memang harus mengakui dengan gagah berani kalau IQ saya jauh dibawah teman saya ini.
Kembali ketelpon teman saya ini, setelah sekian lama tidak bertemu . membuat hati saya berbunga-bunga. Teman ini minta bertemu katanya, “ saya akan merasa puas walau bisa berbicara setengah jam saja.” Dan dia bilang mau berkunjung kerumah saya.

Waduh saya langsung mengabarkan kepada istri saya akan keinginan teman saya ini, niat baik dan kangennya kepada saya. Dan tidak lupa saya “lebih-lebihkan” tentang semua identitas teman ini kepada istri saya. Segala kemampuan, kejeniusan dan sebagainya.

Hari yang ditunggu sampailah. Teman saya datang berkunjung. Sayapun sudah bersiap-siap menunggu dari tadi dengan penampilan terbaik yang bisa saya persiapkan. Melihat teman ini , kami langsung berpelukan seperti sepasang kekasih yang baru berjumpa setelah lama berpisah. Singkat kata seperti adegan sinetron-sinetron televisi yang bisa kita tonton setiap hari dilayar televise kita, mungkin hanya kurangnya adalah air mata berurai. Itu yang tidak kami lakukan. Gembira rasa hati saya. Dan ada kebingungan apa yang harus saya Tanya dan ceritakan karena rasanya banyak sekali yang ingin saya bicarakan.

Setelah duduk teman yang saya kagumi ini berkata, “ wah terima kasih atas waktunya, kalau tidak keberatan lebih baik rasanya kalau saya bisa langsung mengobrol juga sama nyonya, karena ada bisnis besar yang saya bawa sekarang”. Sejenak saya terpaku, kalimat “bisnis” ini, rasanya sangat familiar bagi saya dan membuat saya “harap-harap cemas” seperti acara televisi lagi yaitu H2C.

Dan apa yang saya takutkan jadilah. Ternyata teman saya tadi, dengan sangat meyakinkan dan seperti sangat terlatih membuka buku yang memang di bawanya. Di rumah saya teman ini “mempresentasikan” sebuah system multilevel marketing . Ampun……susah saya berkata-kata, segala perasaan campur aduk dalam hati. Tapi yang jelas segala kekaguman saya akibat masa lampau langsung sirna, dan rasa kangen itupun langsung pupus. Saya seperti melihat sosok yang tidak saya kenal sama sekali. Yang paling membuat saya tidak enak adalah dengan istri saya. Malu sekali rasanya. Malu karena saya telah menceritakan macam-macam hal yang sepertinya sangat bertolak belakang dengan kenyataan.

Singkat kata saya terpaksa menolak apa yang dia tawarkan, karena saya sendiri telah mengetahui lama mengenai “multilevel” yang dia tawarkan. Dan menurut saya kurang cocok buat saya. Dan saya bertanya kepadanya apa yang dia telah capai dengan dia bergabung di bisnis itu. Dan jawabannya ia juga belum mencapai apa-apa, tapi dia optimis dia akan bisa mencapai level tertentu. Dia sepertinya memang sangat optimis.Terakhir saya dengar dia juga keluar dari pekerjaan itu. Dan memang tidak mencapai apa-apa.
Pengalaman ini saya tulis, karena saya merasa kecewa dengan hal yang saya alami. Saya sangat mengagumi teman ini, tapi ternyata dalam kehidupan pintar saja tidak cukup. Mungkin ada factor lain yang harus mendukung.

teman adalah teman dan bisnis adalah bisnis. Kita tidak bisa menggabungkan arti pertemanan hanya dengan sebuah bisnis.

Memang tidak ada yang salah berteman sambil berbisnis, yang salah justru membisniskan teman. Satu yang pasti akan terjadi seandainya anda melihat teman anda adalah lahan bisnis, percayalah suatu hari anda tidak akan mendapatkan teman. Dan teman-teman baik anda akan menjauhi anda.

Teman sejati itu adalah sangat jauh konteknya dengan bisnis. Maka kalau mau berteman maka bertemanlah dengan baik. Pahami teman, hargai juga teman dan mari kita berteman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.